Google.com |
Hari Rabu agenda kelas Sejarah Legislasi Hukum Islam (Tarikh Tasyri’) adalah menggelar diskusi panel. Panitia menghadirkan seorang dosen pakar hukum islam alumi Timur Tengah dan ahli kesehatan reproduksi (Obgyn). Persiapan dua minggu membekaskan serba-serbi penuh kejutan. Kerjasama kuat, team kelas berusaha keras dan bekerja cerdas.
Hampir tertutup celah meninggalkan acara yang akan dilangsam pada 10 Ramadhan 1440 H (15 Mei 2019). Ketua panitia (sie. Acara) mengatakan—semacam intimidasi bagi warga kelas. “Jangan coba-coba merekayasa alasan bolos. Di mata saya kamu tidak akan lolos. Jika nekad. Saya,“ katanya serius, “saya adalah orang pertama yang maju ke Ibu minta penundaan nilai “ Wow! Giliran saya speachless.
Intensitas ke kampus meningkat dari jadwal mengajar reguler. Bontang-Sangatta dengan kondisi jalan yang “aduhai,” cukup mengganggu tidur selama berkendara. Biasanya karena setir dibanting menghindari lubang jalan atau rem diinjak tiba-tiba. Lisan membunyikan asma Allah spontan. “Allah.” Mengudara dari mulut saya.
Poros Bontang-Sangatta |
Jika malam hari, sepasang mata merah di belakang kendaraan menyilaukan mata. Bukan merah hantu marah melainkan urutan mobil dalam formasi arak-arakan memecah kesunyian hutan.
Puasa tahun ini seperti tahun lalu, aktivitas saya tetap dari itu ke itu. Amaliah harian, zikir, qur’an, ibadah malam dan menjahit. Menjahit saya kerjakan sebagai pengalihan perhatian. Angkat pantat dari depan komputer, saya panjat tangga berjalan ke lantai dua. Di situ tersedia meja mesin jahit hitam untuk merakit potongan bahan.
Bupati Kutai Timur Bapak Ir. H. Ismunandar, MT. |
Dengan view kafe alam, saya nyatakan terbang pikiran bawaan komputer di bawah tadi. Kepala kembali ringan saat melanjutkan edit tulisan.
Saya memotong dan menjahit sendiri pakaian. Dari daster rumahan hingga kebaya brukat pesta tentu saja setiap pamer ke teman “Eh, ini baju jahit sendiri, loh.” Bukannya setuju, lawan bicara menatap lekat mata saya. Sepasang alisnya merapat menjanin tatapan mustahil. Kata pertama adalah tidak menyangka “Ah, massa sih.” Jawaban agak sedikit adem adalah “Ooo.”
Dengan setengah tidak peduli, bahasa tubuhnya tetap sama, tidak percaya itu karya saya. Tuhan! Engkau melihat apa yang aku lakukan, saya ini orang baik-baik kok :))
Mendapati tatapan, kesangsian bahkan penolakan tidak serius, saya semakin geli dan bergurau memertontonkan keahlian amatir ini. Karena menjahit menggunakan pola siap pakai ukuran diri sendiri, otomatis hanya fokus memroduksi pakaian jadi bagi diri dan kedua putri (saya, si kembar). Maaf untuk berterus terang tidak terima jahitan.
Di hari lain...
Ketika diundang acara pembukaan pelatihan MC (Master of Ceremony) kami menyepakati banyak perkara mendasar. Ini dia kegiatan saya yang lain. Mengajar lagi kelas MC dan Pengembangan Pribadi.
Dalam forum (baik di ruang kelas mahasiswa atau kelas pelatihan MC) saya menata mekanisme kebebasan berpendapat. Jika ada yang ingin disampaikan, acungkan tangan. Ketika satu tangan terangkat—penanda dia siap bicara, seluruh anggota kelas siap mendengar. Ini jitu, persis wasit saya akan menunda pembicara tadi jika kelas belum kondusif.
Langkah kedua, biasanya saya “memaksa” mahasiswa atau peserta pelatihan untuk membiasakan menulis pertanyaan. Jangan terlalu percaya diri bicara tanpa persiapan. Pertanyaan yang dibaca lebih sistematis ketimbang merangkai kalimat namun kebanyakan lupa, akibatnya “eeee...uuu, apa tuh namanya dan sebagainya. Selalu saya jawab “Tidak tahu” jika keluar pertanyaan...eeee, apa tuh namanya ?
Di kelas psikologi saya mengatakan “ Lihat matanya jika ingin menguji kejujuran seseorang dan dengari pertanyaannya, jika mau mengetahui isi kelapa eh kepala atau kecerdasan otaknya.
Menulis kalimat tanya mulailah dengan prosedure standart 5 W 1 H, aman kalau itu.
Apa untuk pertanyaan dengan jawaban ala kadarnya. Mengapa jika menanyakan alasan dan bagaimana adalah pertanyaan mengenai cara atau metode. Kapan dan siapa. Gunakan itu secara disiplin lalu rasakan bedanya kamu dulu dan sekarang. Cobalah!
Walaupun puasa, kegiatan domestik juga sama, tidak berubah. Saya menunaikan tugas rumah tangga tanpa asisten. Menjemur pakaian, menyetrika juga memasak. Urusan dapur dan makanan, anak-anak menagih bikinan Umminya.
Artinya, dengan kegiatan memberi kuliah, aktivis dakwah masyarat dan ikutan khotmil qur’an ( satu juz saya rampungkan 25 menit), menulis menjadi satu-satunya tanda cinta sebenarnya. Termasuk memerikan kemesraan berTuhan juga dengan menulis, benar ?
Bagaimana kita paham kedekatan mendalam Rabia’ah sang Sufiah dan El Rumi, mereka dilanda kedahsyatan cinta kepada Rabb-nya ? Hanya satu cara, ada penulis menulis untuk kita.
google.co |
Menulis sebagai tanda kamu ada. Bukankah jika mati, tulisan di blog ini tetap lestari ?
Belum ada kejadian orang mati bawa flash disk file tulisan.
So... Siapa saja silahkan ambil manfaat di sini. Tidak bersyarat dan kayak mangga depan rumah saya, selama ada ambil saja. boleh. Pun jika tanpa izin.
Untuk penulis pemula kayak sayak, sebenarnya ada satu blog menulis terbaik. Recommended deh. Sayang saat hari ulang tahun saya dua tahun lalu, blog itu hilang, kabarnya pergi ke Cina. Allahu'alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar