Selasa, 04 April 2017

Aksi Alfi dan Bola Kasti


Image result for kolam ikan tidak terawat
Ini loh, melati air.

#TafsirInspirasi

Alfi ( 6 tahun). Bocah lelaki kelas satu SD. Anak tetangga Nyonya Anisa. Rumahnya  arah pukul 9. Dua depa dari rumah Nyonya pemilik kolam tanah.

Siang itu. Alfi dan dua temannya Mufti serta Alan, bermain-main dekat kolam alam belakang rumah Nyonya Anisa. Sang Nyonya yang sibuk menyunting tulisan untuk buku ke-duanya, ikut tersenyum mendengar gelak, mencapai layar laptopnya yang gerah.

Dan detikpun berlalu. Selang beberapa saat terdengar nada pilu…

“Huhuhuuuu Huks…huks…..” tangis Alfi melolong ketakutan.

“Ketuk rumahnya” kata Mufti, memberi saran. Tangan coklatnya yang lembap oleh keringat mendorong bahu Alfi, lebih merapat ke pintu belakang rumah.

“Temui pemiliknya,”  ujar Alan mengusulkan.

Bukannya mengindahkan saran kedua temannya. Alfi mengganti tangis dengan isak. Matanya sembab. Kuah bening meluber menuruni pipinya. Antara bau keringat, ingus dan rasa takut Alfi beradu,  jadi satu dalam ragu.

Merujuk kuatnya tangis beserta sesenggukan, isyarat seriusnya masalah yang ditimbulkan oleh keteledoran, lelaki berrambut keriting, berkulit bersih itu.

Keterbatasan pikiran, menyulitkan ke-tiga anak tersebut menuntaskan masalah—yang sayangnya Alfi harus bertanggung jawab. 

Lemparan tangan Alfi terlampau kuat, bola melambung di udara, arah bola di luar perkiraan. 

Akhirnya mereka bertiga menyadari kenyataan, bola sekepalan tangan lelaki dewasa berwarna kuning kehijauan, mengapung  di atas permukaan air kolam.

Kedua temannya Alfi, Mufti dan Alan menunjukkan raut durja setingkat di bawah rasa sedih pelaku. Tetapi, Alfi tetaplah dituntut menyandang resiko.

Kegagalan permainan bola kasti, menunjukkan bentuknya paling nyata. 

Sebenarnya, di dinding rumah itu, depan kamar mandi belakang, sejarak 5 meter dari kolam,  tersedia jaring bertangkai satu meter. Jaring yang digunakan pemilik membersihkan pertumbuhan liar ganggang air, yang terlampaui subur atau untuk menyiduk bangkai ikan nila yang mati mendadak.

Dengan alat tersebut mendapatkan bola kasti kembali, sedianya relatif mudah. Jika masalahnya ukuran tangan ketiganya belum cukup menjangkau, mereka bisa minta bantuan orang dewasa yang bekerja membangun saung/gazebo baru,  di  sekitar area kolam. Alasan satu-satunya meniadakan opsi minta tolong dewasa, karena cedera izin keluar bagi mereka bertiga.

Di komplek perumahan Bumi Asri, pemandangan ganjil anak usia SD keluar meninggalkan pagar rumah. Perilaku salah ketiganya dimulai sejak menyelinap lenyap dari rumah tanpa mengantongi izin Ibunda.

Kesalahan amatir tersebut, menyurutkan hajat Alfi  minta bantuan. Mengindari pertanyaan orang dewasa “Kenapa main siang-siang ? atau kenapa kalian tidak tidur siang ?” Dilemma. Oh dilemma.

Konflik batin menyerang Alfi. Andai meminta bantuan Ibunya, salah-salah bukan kemudahan urusan, malah kena damprat atau menerima sangsi terhadap pelanggaran aturan tidur siang. Menyetujui usul Alan juga, butuh pemikiran seksama. Alih-alih menemukan penyelesaian masalah, jangan-jangan sikap pemilik rumah segalak anjing pelacak. Alamak.

Sikap Mufti sedikit lebih dewasa. Mufti terlihat lebih percaya diri dengan, “ Fi…," katanya meninggikan keberanian si teman, " ketuk pintu, panggil saja Bu Anisa,” kata Mufti.Tatapan yakinnya melunturkan rasa kuatir Alfi. Anggukan kepala Mufti dan sorot mantap,  mendorong semangat Alfi menaklukkan masalah.

Baik…kita lihat yang terjadi berikutnya.

“Tok tok tok.” Ibu Anisa…Assalamulaikum…
“Ketuk lagi, “ terdengar suara di sampingnya memerintah. Mufti tidak sabar melihat hasil kerjanya, menyemangati Alfi.

“Ketuk lagi. “Tok tok tok, “ Tangan Mufti membantu mengetuk pintu.
“Sudah, tapi belum ada sahutan, Gimana ini ?”
“Ketuk lagi…” kata Mufti.
“Jangan-jangan tidak ada orang di rumah,” kata Alan.
“Tadi ada  langkah orang, kok.” kata Mufti
“Bu Anisa…. “
“Ayoh bareng…salam,” kata Mufti sembari memberi isyarat hitungan. Jari tangannya menegakkan jari telunjuk, jari  tengah dan jari manis.
Lalu mereka koor mengucapkan “Assalamualaikuuuuum.”
“Assalamualaikum,” kata Mufti mengulangi  kedua kali, sendirian.
“Permisi,” kata Alan sok ber-etika.

Di dalam rumah, dari ruang duduk yang terhubung pintu belakang. Sang Nyonya ketawa menahan suara. Sejak terdengar ribut-ribut di belakang, Nyonya Anisa menjeda kesibukannya dan mencuri dengar kebimbangan anak tetangganya itu. Dia sengaja menunda buka pintu. Memanjangkan waktu, membiarkan kecemasan menyerang ke-tiga anak itu. Di balik pintu, Nyonya Anisa tersenyum sendiri.

Kemudian….

Krekkk…pintu belakang dibuka. Nyonya  Anisa keluar rumah menampakkan wajah ramah.

“Bu…” tersendat, hampir terucap kata-kata Alfi, sayangnya keduluan airmata lagi.
“Ada apa Alfi, Mufti ?” kata sang Nyonya memerhatikan kedua, ketiganya. Pura-pura tidak tahu tragedi bola kasti.

“Bola kami,” kata Mufti mengarahkan telunjuk pada sebuah warna kuning kehijauan yang mengapung di atas kolam. Dari tempat mereka bertiga berdiri, sebuah bola kasti  menantang-nantang, seolah berseru..”Hai…semua tangkap aku,” katanya menggoda rasa kesal.

“Boleh kami pinjam jaringnya ?" Kata Alfi gugup. Isaknya rendah terdengar. Suaranya berangsur hangat. Separo masalah terangkat melihat kehadiran Nyonya Anisa.

“Bola kasti, ituuu,” kata Alan. Tangannya, mengarah ke dalam kolam. Isyarat  bantuan yang terlanjur diajukan seterang siang.

“Oh…” kata Sang Nyonya,  kemudian berjalan santai menuju samping rumah, mendekati jaring penangkap ikan. Tangannya sigap menjangkau bola kasti yang mengapung, meraihnya ke tepi.

Dan “Hups…dapat !”

Lega.

"Horee."

Tawa ketiga anak kecil itu pecah seketika. Alfi juga,  seraya tangannya menyeka sisa airmata.
“Terima kasih,” seru ketiganya,  lalu berlari menjauhi area kolam alam dan melanjutkan permainan yang sempat tertunda.

P.S. 

Masalah bukan hantu buntu,  tanpa jalan keluar. 
Pertolongan kadang datang tak terduga, dari jalan yang luput dari perkiraan akal.
seperti dialami le tiga anak  tetangga Nyonya Anisa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar