Rabu, 27 September 2017

Rupiah Di Bawah Bantal



Tujuh Puluh Delapan Ribu Sembilan Ratus. Rupiah yang mati-matian dikumpulkan Dela. Receh demi receh disisihkan dari pekerjaannya memisahhkan sampah kering—kemasan botol, plastik dan kardus. Tetapi, saat jatuh tempo bayar SPP, rupiah di bawah bantal tempat tidur Dela selalu gagal berbicara. 

Anak mereka, Jorah masuk SD tahun ajaran lalu. Ini berarti, kebutuhan utama keluarga itu bukan makan siang melainkan biaya pendidikan. Meskipun hanya mereka ; terdiri dari tiga orang, Dela, Jorah raja kecilnya dan putut sang suami, kehidupan mereka dari hasil Dela mengumpulkan sampah kering pagi—petang bisa dikatakan diambang kelaparan—andai Tuhan bukan pemilik kehidupan. 

Bukankah dalam urusan kelangsungan nyawa ; mau hidup atau mati—Tuhan mutlak yang maha menguasai ?!

Baiklah, terlepas dari nyesaknya urusan uang, sebenarnya keluarga mereka penuh senyuman. Mereka terlampau pandai menyembunyikan kegelisahan dan hanya memantulkannya melalui monolog yang diakhiri rembesan airmata menjelang tidur malam.

Mari kita lihat tempat tinggal mereka yang diberikan cuma-cuma atas “kemurahan” hati ketua RT—untuk menjauhkan halusinasi.

Sebuah bangunan kosong 20x20 meter persegi, dengan kamar utama mencapai setengahnya adalah rumah mewah andai diselesaikan pemiliknya. Sayang—konon tanahnya sengketa dan rumah tersebut hadiah gagal persembahan bagi “istri” ke-sekian dari pemilik yang sengaja membiarkan keberadaannya ; antara ada dan tiada.

Ketua RT yang kapok ditabok hantu saat melintas di pagi buta depan rumah tersebut, buru-buru mengumumkan kepada siapa saja, supaya menjadi relawan menempati bangunan setengah jadi, dengan kamar mandi utama dilengkapi batchtub berlumut sisa kelakuan waktu—tentu saja demi gengsi dan harga diri, ketua RT mengurung ‘rahasia kecilnya’ untuk diri sendiri.

Dela yang pada suatu sore sedang tersenyum meratapi kemiskinannya, entah peri mana  menahannya tetap duduk tegak di bawah pohon mangga tetangga, rumah besar tersebut.

Dan pada sore itu ;

“Bu, butuh tenaga cuci gosok, saya mau?” kata Dela dengan tatapan memelas pada seorang Ibu muda yang menyuapi anaknya.

“Cuci gosok, saya sih kerjakan sendiri, tapi..tunggu tunggu, siapa tahu tetangga saya mau.

Dan dengan langkah yang sebenarnya tidak ingin-ingin amat membantu, dia mendekati Bu RT yang melintas disampingnya, aroma lavender kesukaan perempuan itu, sekampung juga, warga tahu.

“Cuci gosok? di rumah sudah ada pegawai, tetapi—siapa ? Mana orangnya ?

Sebut Bu RT, rona wajahnya seperti hampir berhasil menerjamahkan huruf sandi tertentu, sesuatu yang seru.

“Jadi begitu, mbak ! Tidak ada lowongan di rumah saya ! kata Bu RT dengan tatapan merendahkan. Tetapi…mungkin warga  blok G, ada butuh. Blok G ? Dahi Bu RT mengerut seperti hampir memecahkan masalah buntu yang akhirnya terurai.

“Mbak-nya tingal di mana ? Bu RT menghampiri Dela dan posisi badannya rela sedikit agak membungkuk. “ di sini ada rumah gak ditempati. Kalau mau, bisa tinggal di situ. RT kami butuh tenaga kolektor sampah rumah tangga, sebagai batu loncatan apa salahnya diterima?!” suara Bu RT lebih bersahabat ketimbang saat dia mengabarkan memiliki pegawai rumah tangga.

“Oh, benarkah?!” Sahut Dela serupa mendapatkan hadiah sekeping uang dirham.

“Kapan kami bi— ?

Maksud Dela menanyakan waktu.

“Oh…secepatnya, satu jam dari sekarang juga gak masalah.” Bu RT merasa terberkati bertemu Dela.

Siapakah sebenarnya yang lebih beruntung diantara ke-dua perempuan itu ?

Bagi Bu RT, igauan suaminya menjelang subuh, adalah gangguan tidur yang memaksanya pisah ranjang ke kamar sebelah.

Bagi Dela, hantu adalah makhluk gaib. Imannya cukup kuat melindungi, dia  menyakini pencipta sang hantu daripada menggantungkan kecemasan terhadap sebuah isyu.

Sekarang betapa senangnya Dela dan keluarga menempati “rumah baru” mereka.

Anaknya, Jorah, sampai tidak tidur hingga tengah malam, mengagumi kamarnya sendiri terpisah dari kedua orang tuanya. Bukankah akan lebih baik jika orang tua mulai memikirkan memisahkan tidur dengan anak sebelum usia tujuh tahun?—demi kebaikan si anak dan kenyamanan aktivitas malam suami istri. Bagi keluarga Dela, terlepas dari himpitan keuangan. Dibagian ini mereka sungguh bersyukur dengan rasa syukur mengagumkan.

Hari-hari berlalu, sebagaimana mestinya titah sang waktu.

Dan...

Malam panjang senyap di luar. Putut, suami Dela tidak bisa memicingkan mata barang sejenak. Dua-tiga kali istrinya membolak balikkan badan, kantuknya tidak juga datang. Melihat Dela yang nyenyak terlelap, ada perasaan kasihan dan penyesalan dalam, yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang ingin memberi tetapi untuk makan sendiri saja tidak tercukupi. 

Putut maha tidak tahu cara menolak, dia rela saja menyerahkan lembaran tujuh buah sepuluh ribu rupiah milik Dela untuk se-ekor burung beo. Permintaan kemanusian yang... Siapapun sulit menolak saat seseorang berdalih atas nama biaya rumah sakit buah hati yang hampir mati. 

“Buut” kentut Dela memberantakkan bentuk asli bibir dan pipi suaminya. Putut juga mengibas ujung hidung dengan tangan. Tidak menyebarkan  aroma aneh, sih, selain keberatan yang panjang.

Warna kusam sprei penuh tambalan yang digunakan untuk selimut, ditariknya buat diri sendiri hingga kepalanya terendam rumbai benang yang terlepas jahitan,  ditariknya menjangkau kepala, dan terpaksa membiarkan bagian kaki terbuka setengahnya. Dia mendesak menutupi kaki menggunakan ujung jari, kepalanya kelihatan lagi, kali ini diikuti bunyi “kreek.” Sprei robek menyadarkan dirinya tentang '; ada kalanya sesuatu memang tidak bisa dipaksakan.

“Teng, teng, empat kali,” pada tiang listrik oleh mas-mas wakar, dan kokok si jantan, menyegerakan pengiat ibadah malam. Bagi mereka, hening dan  kesendirian adalah sorga yang menenangkan. Waktu mustajab melarutkan seluruh rasa dalam haribaan munajat.

Perasaan Putut didera bersalah, hingga hampir saja mengempaskan butiran airmatanya. Disamping bersalah telah mengambil uang Dela, Putut terkejut besok pagi adalah tanggal yang ditetapkan Dela melunasi hutang SPP anaknya. 

Putut masih terjaga, hembusan salju yang menyepoi telapak kakinya membuat nyalinya kerdil dibuai desas desus tentang kamar yang mereka tempati. Sebuah jendela dengan lengkung di luar dan ventalasi yang ditutup mati, membisikkan misteri. Susunan bata ringan tanpa plester yang mengelilingi dinding kamar, plus langit-langit terbuka seketika membuatnya memiringkan badan, keadaan yang semakin menjauhkannya dari kantuk.

Putut, antara, bersyukur dan mencoba baik-bak saja. Menuruti ajakan Dela menempati rumah tersebut. Penolakan apa yang bisa dikatakan lelaki putus sekolah yang bulan  kemaren dikeluarkan dari penjaga malam sebuah komplek perumahan ? Sedangkan hidup terus berjalan, benar ?

 ***

Pagi hari, saat Dela butuh uang bayaran SPP Jorah.

“Ke mana ya, semalam masih di sini ?!” Dela panik menemukan landasan bantal kasut masai.

Dengan uang yang diperolehnya hari itu—dari hasil menukar sampah kering, seharusnya uang SPP dan beras dua kilo terbeli. Cukup bertahan hidup seminggu.

Jika maling, baik benar, menyisakan beberapa lembaran uang abu-abu recehan dua ribu rupiah. 

Sampai siang merayap ke peraduan juga-- pangkal raibnya tujuh lembar puluh ribuan-- tidak ketemu ujungnya. Empat lembar dua ribu dan sembilan ratus rupiah, mengadu pada Dela gegara kehilangan teman-teman yang selama dua minggu di belakang akrab berhimpitan di bawah bantal.

Dela tersandar lesu di dinding. Serpihan semen menempel di bahu kiri. Hijau lumut kamar mandi  ikut bersimpati.  Lembab tercium dari kolong tempat tidur, dingin kehilangan sebegitu perihnya. 

Dengan kedua lutut dan telapak kaki membuka Dela mulai mengusap butiran airmata.

“Lihat, uang di bawah bantal ?! Kata Dela saat putut melintas, hendak ke kamar mandi--kebiasaan mandi sebelum waktu subuh adalah ciri yang mudah ditemui dari aktivitas "byar byur" air mandi.

Putut pura-pura tidak mendengar. Tangannya asyik mengibas-ngibas handuk mandi yang bolong bagian tengahnya.

Setelah mandi, lelaki itu seharian hanya mondar mandir di rumah sendirian, sesekali membuat layang-layang dan memerhatikan sangkar burung yang tergantung di ujung teras depan samping pojok kamar mereka. 

Anda perlu tahu, sangkar burung itu kedatangan penghuni baru.

Sembari dia bergerak memanaskan sarapan pisang rebus dan air putih untuk Jorah.

“Lihat tidak ?!” Nada suara Dela sedikit menaik dengan tatapan nyaris menumpah biru perasaan. 

“Susuit, suit suit…” Putut menirukan bunyi beo baru dengan siulan sumbang tak terlatih. Menatap riang pada sangkar yang telah terisi di ujung ruang tamu. 

“Baik benar, tuh pencuri—!

“Siapa kehilangan apa ?! Ujar putut  setengah peduli. Sekarang Putut beranjak mendekati sangkar burung beo yang berayun-ayun di sudut ruang tamu, posisi badannya membelakangi Dela, tetapi masih bisa mendengarkan ocehan paginya.

Dela, sekuat tenaga akan menjauhkan apapun yang berbau rupiah terhadap penglihatan Putut. Sayang...Ternyata kehati-hatian yang dipeliharanya, jebol.

Anggaran makan malam yang sebelumnya ada dalam keluarga mereka, pun, sejak Putut tidak bekerja dipangkas seketika. Sebagai gantinya hanya menyuapkan pisang rebus atau ketela pemberian tetangga yang panen di kebunnya. Itu juga jika ada.

Dengan raibnya uang di bawah bantal, Dela merasa hidupnya kelar.

Sementara Dela berpikir, Putut dengan bangga menunjukkan  beo-nya sedang mengoceh.

“Murah ini Del, Tujuh puluh ribu, murah, kan ? Kicauannya merdu. Coba dengar Del. Ck Ck.. Perhatikan warna paruhnya. Kuning berkilau. Sungguh beo yang terawat,” kata Putut tidak henti-hentinya mengagumi.

"Lihat uang di bawah bantal, tidak ?! Untuk bayar SPP,  hari ini terakhir."

Tetapi Putut terlalu sibuk diajak bicara. Perhatiannya tertumpah pada burung beo baru, sedang lucu-lucunya.

"Del...Beo ini, bisa mahal kalau dijual. Bisa kembali berkali-kali puluhan ribu-mu."

Dela menghela nafas, sesak. Tetapi memuncahkan amarah pada Putut, bukan pilihan yang akan merusak paginya."

Dela tersenyum se-cuka mengekor aksi beo dengan tatapan tidak berdaya. Wajahnya memutar, sorot matanya menampar harga diri Putut. Pandangannya aneh, seperti mengikhlaskan barang yang hilang dari genggaman. Sebuah keajaiban, dia dihindarkan dari berhati bengis. Ada banyak alasan menumpahkan kekesalan, tetapi Dela memilih minum secangkir air putih dan duduk menekuri lantai---dtengarai ampuh menjauhkan amarah.

"Aku masih bisa mendapatkan uang diantara tumpukan barang tak berguna, tetapi Putut...Barangkali merdu beo-nya, sedikit mengisi waktunya."

Sebab konon kabarnya ; Kesepian lebih membunuh--apabila merasuki jiwa, ketimbang niat mengakhiri diri itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar