Tujuh Puluh Delapan Ribu Sembilan Ratus. Rupiah yang mati-matian dikumpulkan Dela. Receh demi receh disisihkan dari pekerjaannya memisahhkan
sampah kering—kemasan botol, plastik dan kardus. Tetapi, saat jatuh tempo bayar
SPP, rupiah di bawah bantal tempat tidur Dela selalu gagal berbicara.
Anak mereka, Jorah
masuk SD tahun ajaran lalu. Ini berarti, kebutuhan utama keluarga itu bukan makan siang
melainkan biaya pendidikan. Meskipun hanya mereka ; terdiri dari tiga orang,
Dela, Jorah raja kecilnya dan putut sang suami, kehidupan mereka dari hasil Dela
mengumpulkan sampah kering pagi—petang bisa dikatakan diambang kelaparan—andai Tuhan bukan pemilik kehidupan.
Bukankah dalam urusan kelangsungan nyawa ; mau
hidup atau mati—Tuhan mutlak yang maha menguasai ?!
Baiklah, terlepas dari nyesaknya urusan uang, sebenarnya
keluarga mereka penuh senyuman. Mereka terlampau pandai menyembunyikan kegelisahan
dan hanya memantulkannya melalui monolog yang diakhiri rembesan airmata menjelang
tidur malam.
Mari kita lihat tempat
tinggal mereka yang diberikan cuma-cuma atas “kemurahan” hati ketua RT—untuk
menjauhkan halusinasi.
Sebuah bangunan kosong
20x20 meter persegi, dengan kamar utama mencapai setengahnya adalah rumah mewah
andai diselesaikan pemiliknya. Sayang—konon tanahnya sengketa dan rumah
tersebut hadiah gagal persembahan bagi “istri” ke-sekian dari pemilik yang
sengaja membiarkan keberadaannya ; antara ada dan tiada.
Ketua RT yang kapok
ditabok hantu saat melintas di pagi buta depan rumah tersebut, buru-buru
mengumumkan kepada siapa saja, supaya menjadi relawan menempati bangunan
setengah jadi, dengan kamar mandi utama dilengkapi batchtub berlumut sisa
kelakuan waktu—tentu saja demi gengsi dan harga diri, ketua RT mengurung
‘rahasia kecilnya’ untuk diri sendiri.
Dela yang pada suatu
sore sedang tersenyum meratapi kemiskinannya, entah peri mana menahannya tetap duduk tegak di bawah pohon
mangga tetangga, rumah besar tersebut.
Dan pada sore itu ;
“Bu, butuh tenaga cuci
gosok, saya mau?” kata Dela dengan tatapan memelas pada seorang Ibu muda yang
menyuapi anaknya.
“Cuci gosok, saya sih kerjakan sendiri, tapi..tunggu
tunggu, siapa tahu tetangga saya mau.
Dan dengan langkah yang
sebenarnya tidak ingin-ingin amat membantu, dia mendekati Bu RT yang melintas
disampingnya, aroma lavender kesukaan perempuan itu, sekampung juga, warga
tahu.
“Cuci gosok? di rumah
sudah ada pegawai, tetapi—siapa ? Mana orangnya ?
Sebut Bu RT, rona
wajahnya seperti hampir berhasil menerjamahkan huruf sandi tertentu, sesuatu
yang seru.
“Jadi begitu, mbak !
Tidak ada lowongan di rumah saya ! kata Bu RT dengan tatapan merendahkan. Tetapi…mungkin
warga blok G, ada butuh. Blok G ? Dahi Bu
RT mengerut seperti hampir memecahkan masalah buntu yang akhirnya terurai.
“Mbak-nya tingal di
mana ? Bu RT menghampiri Dela dan posisi badannya rela sedikit agak membungkuk.
“ di sini ada rumah gak ditempati. Kalau mau, bisa tinggal di situ. RT kami
butuh tenaga kolektor sampah rumah tangga, sebagai batu loncatan apa salahnya
diterima?!” suara Bu RT lebih bersahabat ketimbang saat dia mengabarkan
memiliki pegawai rumah tangga.
“Oh, benarkah?!” Sahut
Dela serupa mendapatkan hadiah sekeping uang dirham.
“Kapan kami bi— ?
Maksud Dela menanyakan
waktu.
“Oh…secepatnya, satu
jam dari sekarang juga gak masalah.” Bu RT merasa terberkati bertemu Dela.
Siapakah sebenarnya
yang lebih beruntung diantara ke-dua perempuan itu ?
Bagi Bu RT, igauan
suaminya menjelang subuh, adalah gangguan tidur yang memaksanya pisah ranjang
ke kamar sebelah.
Bagi Dela, hantu adalah
makhluk gaib. Imannya cukup kuat melindungi, dia menyakini pencipta sang hantu daripada
menggantungkan kecemasan terhadap sebuah isyu.
Sekarang betapa
senangnya Dela dan keluarga menempati “rumah baru” mereka.
Anaknya, Jorah, sampai
tidak tidur hingga tengah malam, mengagumi kamarnya sendiri terpisah dari kedua
orang tuanya. Bukankah akan lebih baik jika orang tua mulai memikirkan
memisahkan tidur dengan anak sebelum usia tujuh tahun?—demi kebaikan si anak
dan kenyamanan aktivitas malam suami istri. Bagi keluarga Dela, terlepas dari himpitan
keuangan. Dibagian ini mereka sungguh bersyukur dengan rasa syukur mengagumkan.
Hari-hari berlalu, sebagaimana mestinya titah sang waktu.
Dan...
Hari-hari berlalu, sebagaimana mestinya titah sang waktu.
Dan...
Malam panjang senyap di
luar. Putut, suami Dela tidak bisa memicingkan mata barang sejenak. Dua-tiga
kali istrinya membolak balikkan badan, kantuknya tidak juga datang. Melihat Dela
yang nyenyak terlelap, ada perasaan kasihan dan penyesalan dalam, yang hanya bisa dirasakan
oleh mereka yang ingin memberi tetapi untuk makan sendiri saja tidak tercukupi.
Putut maha tidak tahu cara menolak, dia rela saja menyerahkan lembaran tujuh buah sepuluh ribu rupiah milik Dela untuk se-ekor burung beo. Permintaan kemanusian yang... Siapapun sulit menolak saat seseorang berdalih atas nama biaya rumah sakit buah hati yang hampir mati.
Putut maha tidak tahu cara menolak, dia rela saja menyerahkan lembaran tujuh buah sepuluh ribu rupiah milik Dela untuk se-ekor burung beo. Permintaan kemanusian yang... Siapapun sulit menolak saat seseorang berdalih atas nama biaya rumah sakit buah hati yang hampir mati.
“Buut” kentut Dela
memberantakkan bentuk asli bibir dan pipi suaminya. Putut juga mengibas ujung
hidung dengan tangan. Tidak menyebarkan aroma aneh, sih, selain keberatan yang
panjang.
Warna kusam sprei penuh
tambalan yang digunakan untuk selimut, ditariknya buat diri sendiri hingga kepalanya terendam rumbai benang yang terlepas jahitan, ditariknya menjangkau kepala, dan terpaksa membiarkan bagian kaki
terbuka setengahnya. Dia mendesak menutupi kaki menggunakan ujung jari,
kepalanya kelihatan lagi, kali ini diikuti bunyi “kreek.” Sprei robek menyadarkan
dirinya tentang '; ada kalanya sesuatu memang tidak bisa dipaksakan.
“Teng, teng, empat
kali,” pada tiang listrik oleh mas-mas wakar, dan kokok si jantan, menyegerakan
pengiat ibadah malam. Bagi mereka, hening dan
kesendirian adalah sorga yang menenangkan. Waktu mustajab melarutkan
seluruh rasa dalam haribaan munajat.
Perasaan Putut didera bersalah, hingga hampir saja mengempaskan butiran airmatanya. Disamping bersalah telah mengambil uang Dela, Putut terkejut besok pagi adalah tanggal yang ditetapkan Dela melunasi hutang SPP anaknya.
Perasaan Putut didera bersalah, hingga hampir saja mengempaskan butiran airmatanya. Disamping bersalah telah mengambil uang Dela, Putut terkejut besok pagi adalah tanggal yang ditetapkan Dela melunasi hutang SPP anaknya.
Putut masih terjaga,
hembusan salju yang menyepoi telapak kakinya membuat nyalinya kerdil dibuai
desas desus tentang kamar yang mereka tempati. Sebuah jendela dengan lengkung di
luar dan ventalasi yang ditutup mati, membisikkan misteri. Susunan bata ringan
tanpa plester yang mengelilingi dinding kamar, plus langit-langit terbuka
seketika membuatnya memiringkan badan, keadaan yang semakin menjauhkannya dari
kantuk.
Putut, antara,
bersyukur dan mencoba baik-bak saja. Menuruti ajakan Dela menempati rumah
tersebut. Penolakan apa yang bisa dikatakan lelaki putus sekolah yang
bulan kemaren dikeluarkan dari penjaga malam sebuah komplek perumahan ? Sedangkan hidup terus berjalan, benar ?
***
Pagi hari, saat Dela butuh uang bayaran SPP Jorah.
“Ke mana ya, semalam masih di sini ?!” Dela panik menemukan landasan bantal kasut masai.
“Ke mana ya, semalam masih di sini ?!” Dela panik menemukan landasan bantal kasut masai.
Dengan uang yang
diperolehnya hari itu—dari hasil menukar sampah kering, seharusnya uang SPP dan
beras dua kilo terbeli. Cukup bertahan hidup seminggu.
Jika maling, baik
benar, menyisakan beberapa lembaran uang abu-abu recehan dua ribu rupiah.
Sampai siang merayap ke peraduan juga-- pangkal raibnya tujuh lembar puluh
ribuan-- tidak ketemu ujungnya. Empat lembar dua ribu dan sembilan ratus rupiah, mengadu pada Dela gegara kehilangan teman-teman yang selama dua minggu di belakang akrab berhimpitan di bawah bantal.
Dela tersandar lesu di
dinding. Serpihan semen menempel di bahu kiri. Hijau lumut kamar mandi ikut bersimpati. Lembab tercium dari kolong tempat tidur,
dingin kehilangan sebegitu perihnya.
Dengan kedua lutut dan telapak kaki membuka Dela mulai mengusap butiran airmata.
Dengan kedua lutut dan telapak kaki membuka Dela mulai mengusap butiran airmata.
“Lihat, uang di bawah
bantal ?! Kata Dela saat putut melintas, hendak ke kamar mandi--kebiasaan mandi sebelum waktu subuh adalah ciri yang mudah ditemui dari aktivitas "byar byur" air mandi.
Putut pura-pura tidak mendengar. Tangannya asyik mengibas-ngibas handuk mandi yang bolong bagian tengahnya.
Setelah mandi, lelaki itu seharian hanya mondar mandir di rumah sendirian, sesekali membuat layang-layang dan memerhatikan sangkar burung yang tergantung di ujung teras depan samping pojok kamar mereka.
Anda perlu tahu, sangkar burung itu kedatangan penghuni baru.
Sembari dia bergerak memanaskan sarapan pisang rebus dan air putih untuk Jorah.
“Lihat tidak ?!” Nada suara Dela sedikit menaik dengan tatapan nyaris menumpah biru perasaan.
“Susuit, suit suit…” Putut menirukan bunyi beo baru dengan siulan sumbang tak terlatih. Menatap riang pada sangkar yang telah terisi di ujung ruang tamu.
“Lihat tidak ?!” Nada suara Dela sedikit menaik dengan tatapan nyaris menumpah biru perasaan.
“Susuit, suit suit…” Putut menirukan bunyi beo baru dengan siulan sumbang tak terlatih. Menatap riang pada sangkar yang telah terisi di ujung ruang tamu.
“Baik benar, tuh
pencuri—!
“Siapa kehilangan apa
?! Ujar putut setengah peduli. Sekarang Putut beranjak mendekati sangkar burung beo yang berayun-ayun di sudut ruang
tamu, posisi badannya membelakangi Dela, tetapi masih bisa mendengarkan ocehan paginya.
Dela, sekuat tenaga akan menjauhkan apapun yang berbau rupiah terhadap penglihatan Putut. Sayang...Ternyata kehati-hatian yang dipeliharanya, jebol.
Anggaran makan
malam yang sebelumnya ada dalam keluarga mereka, pun, sejak Putut tidak bekerja
dipangkas seketika. Sebagai gantinya hanya menyuapkan pisang rebus atau ketela
pemberian tetangga yang panen di kebunnya. Itu juga jika ada.
Dengan raibnya uang di
bawah bantal, Dela merasa hidupnya kelar.
Sementara Dela
berpikir, Putut dengan bangga menunjukkan
beo-nya sedang mengoceh.
“Murah ini Del, Tujuh puluh ribu,
murah, kan ? Kicauannya merdu. Coba dengar Del. Ck Ck.. Perhatikan warna paruhnya. Kuning berkilau. Sungguh beo yang terawat,”
kata Putut tidak henti-hentinya mengagumi.
"Lihat uang di bawah bantal, tidak ?! Untuk bayar SPP, hari ini terakhir."
Tetapi Putut terlalu sibuk diajak bicara. Perhatiannya tertumpah pada burung beo baru, sedang lucu-lucunya.
"Del...Beo ini, bisa mahal kalau dijual. Bisa kembali berkali-kali puluhan ribu-mu."
Dela menghela nafas, sesak. Tetapi memuncahkan amarah pada Putut, bukan pilihan yang akan merusak paginya."
Dela tersenyum se-cuka mengekor aksi beo dengan tatapan tidak berdaya. Wajahnya memutar, sorot matanya menampar harga diri Putut. Pandangannya aneh, seperti mengikhlaskan barang yang hilang dari genggaman. Sebuah keajaiban, dia dihindarkan dari berhati bengis. Ada banyak alasan menumpahkan kekesalan, tetapi Dela memilih minum secangkir air putih dan duduk menekuri lantai---dtengarai ampuh menjauhkan amarah.
"Aku masih bisa mendapatkan uang diantara tumpukan barang tak berguna, tetapi Putut...Barangkali merdu beo-nya, sedikit mengisi waktunya."
Sebab konon kabarnya ; Kesepian lebih membunuh--apabila merasuki jiwa, ketimbang niat mengakhiri diri itu sendiri.
"Aku masih bisa mendapatkan uang diantara tumpukan barang tak berguna, tetapi Putut...Barangkali merdu beo-nya, sedikit mengisi waktunya."
Sebab konon kabarnya ; Kesepian lebih membunuh--apabila merasuki jiwa, ketimbang niat mengakhiri diri itu sendiri.