Rabu, 27 September 2017

Rupiah Di Bawah Bantal



Tujuh Puluh Delapan Ribu Sembilan Ratus. Rupiah yang mati-matian dikumpulkan Dela. Receh demi receh disisihkan dari pekerjaannya memisahhkan sampah kering—kemasan botol, plastik dan kardus. Tetapi, saat jatuh tempo bayar SPP, rupiah di bawah bantal tempat tidur Dela selalu gagal berbicara. 

Anak mereka, Jorah masuk SD tahun ajaran lalu. Ini berarti, kebutuhan utama keluarga itu bukan makan siang melainkan biaya pendidikan. Meskipun hanya mereka ; terdiri dari tiga orang, Dela, Jorah raja kecilnya dan putut sang suami, kehidupan mereka dari hasil Dela mengumpulkan sampah kering pagi—petang bisa dikatakan diambang kelaparan—andai Tuhan bukan pemilik kehidupan. 

Bukankah dalam urusan kelangsungan nyawa ; mau hidup atau mati—Tuhan mutlak yang maha menguasai ?!

Baiklah, terlepas dari nyesaknya urusan uang, sebenarnya keluarga mereka penuh senyuman. Mereka terlampau pandai menyembunyikan kegelisahan dan hanya memantulkannya melalui monolog yang diakhiri rembesan airmata menjelang tidur malam.

Mari kita lihat tempat tinggal mereka yang diberikan cuma-cuma atas “kemurahan” hati ketua RT—untuk menjauhkan halusinasi.

Sebuah bangunan kosong 20x20 meter persegi, dengan kamar utama mencapai setengahnya adalah rumah mewah andai diselesaikan pemiliknya. Sayang—konon tanahnya sengketa dan rumah tersebut hadiah gagal persembahan bagi “istri” ke-sekian dari pemilik yang sengaja membiarkan keberadaannya ; antara ada dan tiada.

Ketua RT yang kapok ditabok hantu saat melintas di pagi buta depan rumah tersebut, buru-buru mengumumkan kepada siapa saja, supaya menjadi relawan menempati bangunan setengah jadi, dengan kamar mandi utama dilengkapi batchtub berlumut sisa kelakuan waktu—tentu saja demi gengsi dan harga diri, ketua RT mengurung ‘rahasia kecilnya’ untuk diri sendiri.

Dela yang pada suatu sore sedang tersenyum meratapi kemiskinannya, entah peri mana  menahannya tetap duduk tegak di bawah pohon mangga tetangga, rumah besar tersebut.

Dan pada sore itu ;

“Bu, butuh tenaga cuci gosok, saya mau?” kata Dela dengan tatapan memelas pada seorang Ibu muda yang menyuapi anaknya.

“Cuci gosok, saya sih kerjakan sendiri, tapi..tunggu tunggu, siapa tahu tetangga saya mau.

Dan dengan langkah yang sebenarnya tidak ingin-ingin amat membantu, dia mendekati Bu RT yang melintas disampingnya, aroma lavender kesukaan perempuan itu, sekampung juga, warga tahu.

“Cuci gosok? di rumah sudah ada pegawai, tetapi—siapa ? Mana orangnya ?

Sebut Bu RT, rona wajahnya seperti hampir berhasil menerjamahkan huruf sandi tertentu, sesuatu yang seru.

“Jadi begitu, mbak ! Tidak ada lowongan di rumah saya ! kata Bu RT dengan tatapan merendahkan. Tetapi…mungkin warga  blok G, ada butuh. Blok G ? Dahi Bu RT mengerut seperti hampir memecahkan masalah buntu yang akhirnya terurai.

“Mbak-nya tingal di mana ? Bu RT menghampiri Dela dan posisi badannya rela sedikit agak membungkuk. “ di sini ada rumah gak ditempati. Kalau mau, bisa tinggal di situ. RT kami butuh tenaga kolektor sampah rumah tangga, sebagai batu loncatan apa salahnya diterima?!” suara Bu RT lebih bersahabat ketimbang saat dia mengabarkan memiliki pegawai rumah tangga.

“Oh, benarkah?!” Sahut Dela serupa mendapatkan hadiah sekeping uang dirham.

“Kapan kami bi— ?

Maksud Dela menanyakan waktu.

“Oh…secepatnya, satu jam dari sekarang juga gak masalah.” Bu RT merasa terberkati bertemu Dela.

Siapakah sebenarnya yang lebih beruntung diantara ke-dua perempuan itu ?

Bagi Bu RT, igauan suaminya menjelang subuh, adalah gangguan tidur yang memaksanya pisah ranjang ke kamar sebelah.

Bagi Dela, hantu adalah makhluk gaib. Imannya cukup kuat melindungi, dia  menyakini pencipta sang hantu daripada menggantungkan kecemasan terhadap sebuah isyu.

Sekarang betapa senangnya Dela dan keluarga menempati “rumah baru” mereka.

Anaknya, Jorah, sampai tidak tidur hingga tengah malam, mengagumi kamarnya sendiri terpisah dari kedua orang tuanya. Bukankah akan lebih baik jika orang tua mulai memikirkan memisahkan tidur dengan anak sebelum usia tujuh tahun?—demi kebaikan si anak dan kenyamanan aktivitas malam suami istri. Bagi keluarga Dela, terlepas dari himpitan keuangan. Dibagian ini mereka sungguh bersyukur dengan rasa syukur mengagumkan.

Hari-hari berlalu, sebagaimana mestinya titah sang waktu.

Dan...

Malam panjang senyap di luar. Putut, suami Dela tidak bisa memicingkan mata barang sejenak. Dua-tiga kali istrinya membolak balikkan badan, kantuknya tidak juga datang. Melihat Dela yang nyenyak terlelap, ada perasaan kasihan dan penyesalan dalam, yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang ingin memberi tetapi untuk makan sendiri saja tidak tercukupi. 

Putut maha tidak tahu cara menolak, dia rela saja menyerahkan lembaran tujuh buah sepuluh ribu rupiah milik Dela untuk se-ekor burung beo. Permintaan kemanusian yang... Siapapun sulit menolak saat seseorang berdalih atas nama biaya rumah sakit buah hati yang hampir mati. 

“Buut” kentut Dela memberantakkan bentuk asli bibir dan pipi suaminya. Putut juga mengibas ujung hidung dengan tangan. Tidak menyebarkan  aroma aneh, sih, selain keberatan yang panjang.

Warna kusam sprei penuh tambalan yang digunakan untuk selimut, ditariknya buat diri sendiri hingga kepalanya terendam rumbai benang yang terlepas jahitan,  ditariknya menjangkau kepala, dan terpaksa membiarkan bagian kaki terbuka setengahnya. Dia mendesak menutupi kaki menggunakan ujung jari, kepalanya kelihatan lagi, kali ini diikuti bunyi “kreek.” Sprei robek menyadarkan dirinya tentang '; ada kalanya sesuatu memang tidak bisa dipaksakan.

“Teng, teng, empat kali,” pada tiang listrik oleh mas-mas wakar, dan kokok si jantan, menyegerakan pengiat ibadah malam. Bagi mereka, hening dan  kesendirian adalah sorga yang menenangkan. Waktu mustajab melarutkan seluruh rasa dalam haribaan munajat.

Perasaan Putut didera bersalah, hingga hampir saja mengempaskan butiran airmatanya. Disamping bersalah telah mengambil uang Dela, Putut terkejut besok pagi adalah tanggal yang ditetapkan Dela melunasi hutang SPP anaknya. 

Putut masih terjaga, hembusan salju yang menyepoi telapak kakinya membuat nyalinya kerdil dibuai desas desus tentang kamar yang mereka tempati. Sebuah jendela dengan lengkung di luar dan ventalasi yang ditutup mati, membisikkan misteri. Susunan bata ringan tanpa plester yang mengelilingi dinding kamar, plus langit-langit terbuka seketika membuatnya memiringkan badan, keadaan yang semakin menjauhkannya dari kantuk.

Putut, antara, bersyukur dan mencoba baik-bak saja. Menuruti ajakan Dela menempati rumah tersebut. Penolakan apa yang bisa dikatakan lelaki putus sekolah yang bulan  kemaren dikeluarkan dari penjaga malam sebuah komplek perumahan ? Sedangkan hidup terus berjalan, benar ?

 ***

Pagi hari, saat Dela butuh uang bayaran SPP Jorah.

“Ke mana ya, semalam masih di sini ?!” Dela panik menemukan landasan bantal kasut masai.

Dengan uang yang diperolehnya hari itu—dari hasil menukar sampah kering, seharusnya uang SPP dan beras dua kilo terbeli. Cukup bertahan hidup seminggu.

Jika maling, baik benar, menyisakan beberapa lembaran uang abu-abu recehan dua ribu rupiah. 

Sampai siang merayap ke peraduan juga-- pangkal raibnya tujuh lembar puluh ribuan-- tidak ketemu ujungnya. Empat lembar dua ribu dan sembilan ratus rupiah, mengadu pada Dela gegara kehilangan teman-teman yang selama dua minggu di belakang akrab berhimpitan di bawah bantal.

Dela tersandar lesu di dinding. Serpihan semen menempel di bahu kiri. Hijau lumut kamar mandi  ikut bersimpati.  Lembab tercium dari kolong tempat tidur, dingin kehilangan sebegitu perihnya. 

Dengan kedua lutut dan telapak kaki membuka Dela mulai mengusap butiran airmata.

“Lihat, uang di bawah bantal ?! Kata Dela saat putut melintas, hendak ke kamar mandi--kebiasaan mandi sebelum waktu subuh adalah ciri yang mudah ditemui dari aktivitas "byar byur" air mandi.

Putut pura-pura tidak mendengar. Tangannya asyik mengibas-ngibas handuk mandi yang bolong bagian tengahnya.

Setelah mandi, lelaki itu seharian hanya mondar mandir di rumah sendirian, sesekali membuat layang-layang dan memerhatikan sangkar burung yang tergantung di ujung teras depan samping pojok kamar mereka. 

Anda perlu tahu, sangkar burung itu kedatangan penghuni baru.

Sembari dia bergerak memanaskan sarapan pisang rebus dan air putih untuk Jorah.

“Lihat tidak ?!” Nada suara Dela sedikit menaik dengan tatapan nyaris menumpah biru perasaan. 

“Susuit, suit suit…” Putut menirukan bunyi beo baru dengan siulan sumbang tak terlatih. Menatap riang pada sangkar yang telah terisi di ujung ruang tamu. 

“Baik benar, tuh pencuri—!

“Siapa kehilangan apa ?! Ujar putut  setengah peduli. Sekarang Putut beranjak mendekati sangkar burung beo yang berayun-ayun di sudut ruang tamu, posisi badannya membelakangi Dela, tetapi masih bisa mendengarkan ocehan paginya.

Dela, sekuat tenaga akan menjauhkan apapun yang berbau rupiah terhadap penglihatan Putut. Sayang...Ternyata kehati-hatian yang dipeliharanya, jebol.

Anggaran makan malam yang sebelumnya ada dalam keluarga mereka, pun, sejak Putut tidak bekerja dipangkas seketika. Sebagai gantinya hanya menyuapkan pisang rebus atau ketela pemberian tetangga yang panen di kebunnya. Itu juga jika ada.

Dengan raibnya uang di bawah bantal, Dela merasa hidupnya kelar.

Sementara Dela berpikir, Putut dengan bangga menunjukkan  beo-nya sedang mengoceh.

“Murah ini Del, Tujuh puluh ribu, murah, kan ? Kicauannya merdu. Coba dengar Del. Ck Ck.. Perhatikan warna paruhnya. Kuning berkilau. Sungguh beo yang terawat,” kata Putut tidak henti-hentinya mengagumi.

"Lihat uang di bawah bantal, tidak ?! Untuk bayar SPP,  hari ini terakhir."

Tetapi Putut terlalu sibuk diajak bicara. Perhatiannya tertumpah pada burung beo baru, sedang lucu-lucunya.

"Del...Beo ini, bisa mahal kalau dijual. Bisa kembali berkali-kali puluhan ribu-mu."

Dela menghela nafas, sesak. Tetapi memuncahkan amarah pada Putut, bukan pilihan yang akan merusak paginya."

Dela tersenyum se-cuka mengekor aksi beo dengan tatapan tidak berdaya. Wajahnya memutar, sorot matanya menampar harga diri Putut. Pandangannya aneh, seperti mengikhlaskan barang yang hilang dari genggaman. Sebuah keajaiban, dia dihindarkan dari berhati bengis. Ada banyak alasan menumpahkan kekesalan, tetapi Dela memilih minum secangkir air putih dan duduk menekuri lantai---dtengarai ampuh menjauhkan amarah.

"Aku masih bisa mendapatkan uang diantara tumpukan barang tak berguna, tetapi Putut...Barangkali merdu beo-nya, sedikit mengisi waktunya."

Sebab konon kabarnya ; Kesepian lebih membunuh--apabila merasuki jiwa, ketimbang niat mengakhiri diri itu sendiri.

Selasa, 04 April 2017

Aksi Alfi dan Bola Kasti


Image result for kolam ikan tidak terawat
Ini loh, melati air.

#TafsirInspirasi

Alfi ( 6 tahun). Bocah lelaki kelas satu SD. Anak tetangga Nyonya Anisa. Rumahnya  arah pukul 9. Dua depa dari rumah Nyonya pemilik kolam tanah.

Siang itu. Alfi dan dua temannya Mufti serta Alan, bermain-main dekat kolam alam belakang rumah Nyonya Anisa. Sang Nyonya yang sibuk menyunting tulisan untuk buku ke-duanya, ikut tersenyum mendengar gelak, mencapai layar laptopnya yang gerah.

Dan detikpun berlalu. Selang beberapa saat terdengar nada pilu…

“Huhuhuuuu Huks…huks…..” tangis Alfi melolong ketakutan.

“Ketuk rumahnya” kata Mufti, memberi saran. Tangan coklatnya yang lembap oleh keringat mendorong bahu Alfi, lebih merapat ke pintu belakang rumah.

“Temui pemiliknya,”  ujar Alan mengusulkan.

Bukannya mengindahkan saran kedua temannya. Alfi mengganti tangis dengan isak. Matanya sembab. Kuah bening meluber menuruni pipinya. Antara bau keringat, ingus dan rasa takut Alfi beradu,  jadi satu dalam ragu.

Merujuk kuatnya tangis beserta sesenggukan, isyarat seriusnya masalah yang ditimbulkan oleh keteledoran, lelaki berrambut keriting, berkulit bersih itu.

Keterbatasan pikiran, menyulitkan ke-tiga anak tersebut menuntaskan masalah—yang sayangnya Alfi harus bertanggung jawab. 

Lemparan tangan Alfi terlampau kuat, bola melambung di udara, arah bola di luar perkiraan. 

Akhirnya mereka bertiga menyadari kenyataan, bola sekepalan tangan lelaki dewasa berwarna kuning kehijauan, mengapung  di atas permukaan air kolam.

Kedua temannya Alfi, Mufti dan Alan menunjukkan raut durja setingkat di bawah rasa sedih pelaku. Tetapi, Alfi tetaplah dituntut menyandang resiko.

Kegagalan permainan bola kasti, menunjukkan bentuknya paling nyata. 

Sebenarnya, di dinding rumah itu, depan kamar mandi belakang, sejarak 5 meter dari kolam,  tersedia jaring bertangkai satu meter. Jaring yang digunakan pemilik membersihkan pertumbuhan liar ganggang air, yang terlampaui subur atau untuk menyiduk bangkai ikan nila yang mati mendadak.

Dengan alat tersebut mendapatkan bola kasti kembali, sedianya relatif mudah. Jika masalahnya ukuran tangan ketiganya belum cukup menjangkau, mereka bisa minta bantuan orang dewasa yang bekerja membangun saung/gazebo baru,  di  sekitar area kolam. Alasan satu-satunya meniadakan opsi minta tolong dewasa, karena cedera izin keluar bagi mereka bertiga.

Di komplek perumahan Bumi Asri, pemandangan ganjil anak usia SD keluar meninggalkan pagar rumah. Perilaku salah ketiganya dimulai sejak menyelinap lenyap dari rumah tanpa mengantongi izin Ibunda.

Kesalahan amatir tersebut, menyurutkan hajat Alfi  minta bantuan. Mengindari pertanyaan orang dewasa “Kenapa main siang-siang ? atau kenapa kalian tidak tidur siang ?” Dilemma. Oh dilemma.

Konflik batin menyerang Alfi. Andai meminta bantuan Ibunya, salah-salah bukan kemudahan urusan, malah kena damprat atau menerima sangsi terhadap pelanggaran aturan tidur siang. Menyetujui usul Alan juga, butuh pemikiran seksama. Alih-alih menemukan penyelesaian masalah, jangan-jangan sikap pemilik rumah segalak anjing pelacak. Alamak.

Sikap Mufti sedikit lebih dewasa. Mufti terlihat lebih percaya diri dengan, “ Fi…," katanya meninggikan keberanian si teman, " ketuk pintu, panggil saja Bu Anisa,” kata Mufti.Tatapan yakinnya melunturkan rasa kuatir Alfi. Anggukan kepala Mufti dan sorot mantap,  mendorong semangat Alfi menaklukkan masalah.

Baik…kita lihat yang terjadi berikutnya.

“Tok tok tok.” Ibu Anisa…Assalamulaikum…
“Ketuk lagi, “ terdengar suara di sampingnya memerintah. Mufti tidak sabar melihat hasil kerjanya, menyemangati Alfi.

“Ketuk lagi. “Tok tok tok, “ Tangan Mufti membantu mengetuk pintu.
“Sudah, tapi belum ada sahutan, Gimana ini ?”
“Ketuk lagi…” kata Mufti.
“Jangan-jangan tidak ada orang di rumah,” kata Alan.
“Tadi ada  langkah orang, kok.” kata Mufti
“Bu Anisa…. “
“Ayoh bareng…salam,” kata Mufti sembari memberi isyarat hitungan. Jari tangannya menegakkan jari telunjuk, jari  tengah dan jari manis.
Lalu mereka koor mengucapkan “Assalamualaikuuuuum.”
“Assalamualaikum,” kata Mufti mengulangi  kedua kali, sendirian.
“Permisi,” kata Alan sok ber-etika.

Di dalam rumah, dari ruang duduk yang terhubung pintu belakang. Sang Nyonya ketawa menahan suara. Sejak terdengar ribut-ribut di belakang, Nyonya Anisa menjeda kesibukannya dan mencuri dengar kebimbangan anak tetangganya itu. Dia sengaja menunda buka pintu. Memanjangkan waktu, membiarkan kecemasan menyerang ke-tiga anak itu. Di balik pintu, Nyonya Anisa tersenyum sendiri.

Kemudian….

Krekkk…pintu belakang dibuka. Nyonya  Anisa keluar rumah menampakkan wajah ramah.

“Bu…” tersendat, hampir terucap kata-kata Alfi, sayangnya keduluan airmata lagi.
“Ada apa Alfi, Mufti ?” kata sang Nyonya memerhatikan kedua, ketiganya. Pura-pura tidak tahu tragedi bola kasti.

“Bola kami,” kata Mufti mengarahkan telunjuk pada sebuah warna kuning kehijauan yang mengapung di atas kolam. Dari tempat mereka bertiga berdiri, sebuah bola kasti  menantang-nantang, seolah berseru..”Hai…semua tangkap aku,” katanya menggoda rasa kesal.

“Boleh kami pinjam jaringnya ?" Kata Alfi gugup. Isaknya rendah terdengar. Suaranya berangsur hangat. Separo masalah terangkat melihat kehadiran Nyonya Anisa.

“Bola kasti, ituuu,” kata Alan. Tangannya, mengarah ke dalam kolam. Isyarat  bantuan yang terlanjur diajukan seterang siang.

“Oh…” kata Sang Nyonya,  kemudian berjalan santai menuju samping rumah, mendekati jaring penangkap ikan. Tangannya sigap menjangkau bola kasti yang mengapung, meraihnya ke tepi.

Dan “Hups…dapat !”

Lega.

"Horee."

Tawa ketiga anak kecil itu pecah seketika. Alfi juga,  seraya tangannya menyeka sisa airmata.
“Terima kasih,” seru ketiganya,  lalu berlari menjauhi area kolam alam dan melanjutkan permainan yang sempat tertunda.

P.S. 

Masalah bukan hantu buntu,  tanpa jalan keluar. 
Pertolongan kadang datang tak terduga, dari jalan yang luput dari perkiraan akal.
seperti dialami le tiga anak  tetangga Nyonya Anisa.


Rabu, 22 Maret 2017

Endorsement Novel Realita




Kata Mereka Tentang Buku Ini :

·       Buku ini spektakuler. Sebuah karya lokal mengentak emosi.  Memendarkan kekuatan cinta  yang dalam.  Tergelitik rasa, mengekor alur cerita tengat halaman terakhir. Catatan biasa dari seorang Ibu luar biasa, ketulusannya memikat. Selamat, Ibu Fauzan Ahsan. Buku Ibu menggurah gugah istri siapapun.
#Ali Akbar Baros. Founder Klik Bontang.

·       Deskripsi karakter tiap tokoh utama “di Zoom In ber-Cerita.” Detail suasana emosi, perwatakan dan kebiasaan kecil, ter-Eskpose  teliti.  Nyata dan bernyawa. Penulis membawa konflik ber-ayun,  naik turun layaknya Rollercoaster lalu mencapai landai dengan kelembutan sempurna. Setiap bagian cerita menyembunyikan“Pengantinnya.”
Rudi  Andrie S. # Aliansi Radio Islam Indonesia.


·       Ini buku  keren, dari Abah, Ummi dan Anak.  Makin  kagum setelah baca buku ini.    Tidak menyangka ini kisah keluarga. Terima kasih Ummi Iin,  melahirkan dan mendidik  Kembar, sahabat hebat saya # Kirana Larasati  Sahabat si Kembar dan Designer.

·        Kisah-kisahnya menembus sekat agama, profesi, ruang dan waktu. Bahasanya khas  mengalir,  sedikit menggigit. Lincah, Enak dibaca dan Romantis. # Teguh Suharjono. Praktisi Penyiaran Kal-Tim.  Direktur PKTV Media Group.
#



Kamis, 09 Februari 2017

Lancar Kata Pengantar




#Tafsir Inspirasi Radio Buana.

Apakah Kamu Seorang Mahasiswa/i Perguruan Tinggi Kota Bontang?

Sebagai Mahasiswa yang mengerjakan tugas kuliah,  Apakah kata pengantar  karya ilmiah-mu sudah benar, menyertakan unsur-unsur penulisan yang harus ada, sehingga memaksa dosen mengikutimu limit halaman terakhir? Ach…saya tidak yakin. Belum.

Sebentar...sebentar.

Mengapa kamu perlu menjawab tantangan saya?

Karena  lama sebelum ini, Kamu menunggu  tips-nya, Benar? Bagus! Jadi, inilah saatnya,.
Akhirnya, solusi menulis pengantar tugas kuliah, datang sendiri ke hadapan kamu.

Jadi begini :

Sebagai mahasiswa menulis kata pengantar diawal tulisan ilmiah hukumnya wajib, kata pengantar bertugas ‘mendesak’ dosen menguntit tulisan kamu.

Sayangnya, sebagai dosen--saya --kerap il-feel baca kata pengantar mahasiswa, yang saya tahu produk copas milik tetangga.

Setelah mengikuti arahan saya--- hentikan kebiasaan tiru-tiru kamu---Manfaat penting tawaran ini; Kamu, ya. Kamu,  akan  mendapatkan bimbingan seperti berhadapan  saya. Face to face.

Nah bersiaplah.

Hanya dengan tatap muka satu persatu, saya pastikan kamu lancar menulis kata pengantar. Ini seperti kita berdua duduk di ruang kuliah, saya mengajar Kamu, Kamu. Satu-satu. Keren.
Saya Indrayani, akan memandu.

Baik, mari kita mulai. Siapkan telinga eh alat tulis.

Eiiit… tunggu dulu.

Sepertinya,  saya juga  kamu butuh referensi bacaan sebelum mengajar dan belajar. Satu buku harus kita miliki sebagai acuan. Saya sarankan Kumpulan Cerpen. Loh, kok?

Tenang, Jangan pingsan, Kawan.

Saya tawarkan sebuah buku kumpulan cerpen,  supaya terlihat proses pembelajaran berlangsung santai tapi sungguhan. Tidak percaya? Mari periksa kata pengantar dalam Buku Kumpulan Cerpen :

“Beranda Malam di Tepian Mahakam.”

Di sana kamu akan melongong, membenarkan perkataan saya. Ingat diawal saya ingatkan : Menulis kata pengantar butuh menyertakan unsur-unsurnya.

Nah…tunggu apalagi. Ayoh miliki buku ini.

Selain kata pengantar, kamu boleh bertanya seputar proses kreatif penulisan buku tersebut. Bukan asal bertanya, lalu saya menjawab. Tidak…Setelah membaca cerita demi cerita, kami  akan undang kamu menghadiri bedah buku ini, di studio PKTV dalam program :

Inspirasi Wanita. Jangan lewatkan…

Dan…Satu  sebelum lupa.

Peserta bedah buku ini, otomatis terdaftar sebagai peserta ;
Pelatihan Menulis Kata Pengantar di  Kafe Alam Radio Buana.

Nah…dapat ilmu tentang menulis, lalu berkesempatan disorot tiga kamera TV, tentu kesempatan yang tidak; Serupa datang bulan, datang tiap bulan.

Saya tawarkan kesepakatan.

Caranya ; Kamu, kudu miliki buku tersebut.

Buku, di luar sana. IDR 50,- tetapi selama masa pembelian 7 hari dari sekarang, kamu cukup tinggalkan uang IDR. 40,- saja. Paket hemat buat  Mahasiswa.

Miliki buku dan jadilah hebat menulis kata pengantar. Tempat terbatas . Hanya bagi 20 orang.
Jaminan kepuasan kamu adalah prioritas. Cedera kecil pada buku, bebankan pundak saya. Kembalikan saja, kamu dapatkan ganti sempurna. Berlaku 7 jam pasca pembelian.

Tunggu apa lagi, daftarkan diri kamu dan rebut kesempatan  tampil sepanggung dengan nara sumber penulis buku ‘Kumcer Beranda Malam Di Tepian Mahakam’ di  studio PKTV Bontang.

Hubungi Irma, HP : +62- 858-2203-2293
Untuk memesan buku atau dapatkan di Radio Buana. 
Jalan Imam Bonjol Komplek Bontang Permai G/7.
Kontak person : Rudi : Nomor HP : +62-852-0093-2373

Tulisan asli bisa di akses di www.indrayaniindra.com.


Jumat, 06 Januari 2017

Foto Ibu-Anak

Selama Hatiku Membiru Rindu. Doaku mengawal bahagiamu
Terimakasih Anakku. Kalian, alasan namaku kau panggil Ibu.
Matahari Ridhoku memendari matahatimu.
Kamu kan, yang bilang " kasihku tiada bertepi."
Memang.
Untukmu, apa sih yang tidak?!

SukaTunjukkan lebih banyak tanggapan
Komentari