Kemaren, sepanjang pagi
hingga siang Abah Ketua Pasukan dan saya
istrinya jadi bagian panitia manten. Kami sa-mBontang Pemai menempati seksi
sibuk sebagai among tamu dan penerima tamu.
Sudah tradisi saban
mengemban tugas ini, awalnya kami manis berdiri.
Di tengah acara, saat
satu dua orang tamu menyapa “Halo, Pak Fauzan Apa kabar ? “ Abah ketua pasukan,
tidak berdiam diri berdiri manis lagi.
Jika hadir berserta istri,
tugas tambahan kami saya dan Abah Pak ketua pasukan akan menyambut, menyalami,
mendampingi jalan hingga area buffet ekslusif. Kami akan membawa ke tempat duduk
tamu VIP lalu menemani. Selanjutnya mengimbangi
obrolan. Sudah tentu makan kami basa-basi.
Kolega dan rekan bisnis
macam begini akan ada beberapa orang.
Jika itu pejabat pucuk
daerah, kami di sana hingga empunya daerah meninggalkan tempat acara. Dan itu
berulang. Kami sudah paham tugas tidak biasa dengan cara sangat biasa.
Dan pada acara kemaren….
Saya bukan membahas
tamu VIP, melainkan tertarik dengan
sepatu.
Posisi kami di area jantung
acara, antara pelaminan dan pintu kedatangan tamu undangan.
Panitia menyediakan
kursi supaya tidak penat berdiri. Dengan senyum yang disetting memesona,
sepasang garis ketawa wajah saya lelah merayap hingga bawah mata.
Dari tempat kami
berdiri, penyambutan tamu penting dilakukan tanpa menggeser fungsi sebagai
pengarah tamu VIP. Mata saya sampai lupa mengantuk, padahal sejak sore sampai malam badan saya kurang istirahat.
Siang kemaren 15 menit jelang
jeda waktu zuhur, pandangan mata saya
menyapu sepatu-sepatu yang dikenakan para panitia. Sepatu pria, bukan high heels yang memerindah kaki panitia
wanita.
Sepatu adalah sepasang kasut tertutup yang membungkus kaki.
Berfungsi ganda sebagai pelindung, perhiasan dan citra diri. Sepatu disorot pertama
menunjuk kelas sosial seseorang.
Walaupun sepatu dari kulit
rusa jika kekecilan tetap saja pemakainya menderita. Biar sepatu dari Belanda
kalau longgar perlu ganjal juga pada akhirnya.
Pengalaman saya
mengenakan sepatu Eropa milik seorang teman dulu, amboy demikian nyaman.
Artinya pas sekali di kaki juga dihati. Dari segi harga pasti lebih dari harga beli
terasi.
Dari sisi keamanan, wah ini sepatu wajib dinikahi kaki. Dan soal
gengsi, saya bilang:
” Langit tidak perlu
mengumumkan bahwa dirinya tinggi”.
Cukup melirik kaki sekali, harganya bikin
dompet mahasiswa menelan ludah lalu pergi.
Kembali ke barisan para
alas kaki.
Pagi hari sebelum bertugas,
kami duduk berderet di kursi untuk keluarga. Secara tidak sengaja, mata menumbuk
sepasang alas kaki seorang wanita. Ibu paro baya yang duduk persis sebelah saya.
Tidak seperti seorang Ibu
lain yang duduk di kursi deret terdepan. Di mana kakinya melantai, menjulur setengah
melonjor.
Cukup dari bentuk
tumit, merk sepatu menyenyum ke arah saya. Tumit sepatu tebar pesona atau diam
saja, harganya sudah membentuk sebuah angka. Setara high heels menantu kerajaan Inggris-lah. Kira-kita.
Ibu di sebelah saya menyembunyikan sepasang kaki di balik
gaun hijau lumut. Menekuk ke belakang dan tersipu. Telapak busa alas kaki diseret. Rintihannya
terdengar terjepit. Si Ibu sebelah saya
melempar sebuah senyum. Saya tidak paham makna senyumnya.
Selanjutnya sambil mengarahkan
tamu high heels saya, dua-tiga kali bongkar pasang.
Sepatu sembilan senti itu
membentuk kaki dalam rupa sempurna. Andai tidak mengenakan gaun panjang, sepatu
itu mengalahkan pesona senyum saya. Namun sepatu tetaplah sepatu.
Sepatu indah bahkan
yang pernah dipakai putri Cinderella itu tidak enggan menyiksa. Sepatu kaca
keren luar biasa. Namun keren bentuknya setara rasa sakit menghimpit jari-jari
kaki.
Sepatu bertumit tinggi,
lambang percaya diri sejati. Beberapa orang terlihat membusungkan dada saat
mengenakannya. Namun siapa sangka kesakitan itu menghadang secara membabi buta?
Meski penanda status
sosial, sepatu tempatnya di kaki. Sepatu, hingga kiamat sudah dekat tidak naik
pangkat ke kepala.Tidak pantas.
Setiap kita butuh alas
kaki, bisa sepatu kulit buffalo atau sandal jepit merk swallo. Tidak peduli
sepatu Kate Middleton atau sandal busa tebal dikaki seorang ibu sebelah saya,
sepatu fungsinya melindungi kaki.
Saya pernah membuang
sepatu setelah satu jam memakai. Sepatu yang belum dapat dikatakan dicatat
murah dalam digit IDR. Namun karena sepatu itu gagal memenuhi standar kenyaman.
Maka tempatnya selesai di tempat sampah.
Terlepas dari apa dan
siapa kita, menggunakan sepatu adalah tentang fungsi dan rasa nyaman. Harga
berbanding lurus dengan imbalan rasa yang dituntut sebuah penciptaan.
Sepatu, tempatnya di
kaki. Jika demikian carilah sepasang sepatu yang cocok di hati, nyaman di kaki.
Satu pasang sepatu dengan ukuran tepat dapat menyempurnakan fungsi ketimbang
belasan sepatu hanya jadi koleksi.
Dari kejauhan saya
melihat kerabat dekat sang pengantin. Saat mata menembak kakinya, amboy alas
kaki bertransformasi dari high heels menawan kepada sandal rumahan yang nyaman.
Untuk saya sepatu plat cukup mendinginkan kaki yang terhimpit sepatu tumit
tinggi sepanjang siang.