Aku ingat lagi bunga padang, saat... Latihan menulis deskripsi. "Jangan pisahkan deskripsi dan adegan,...seperti; Lelaki berambut cepak berlari tergesa-gesa menuruni bukit, melewati semak dan bunga padang, mengibas rumput nakal yang menempel di celana panjang hitamnya." Kata Mentorku, di kelas menulis fiksi.
"Lihat...kita menyatukan antara adegan 'menuruni bukit' dengan deskripsi latar ' bunga padang, semak, juga keadaan celana panjang karakter.'
Mentorku, bersemangat membimbing anak asuhnya menemukan potensi diri. "Percaya diri dipengaruhi oleh, rasa kuat menyukai diri sendiri, Benar?" Kalau yang ini, sih...Katanya Akyuu.:))
Bunga Padang. Lotus atau Teratai. Bijinya enak, manisnya lembut tersembunyi dicelah selaput bergabus. Mendapatkannya, perlu berenang atau naik perahu ke tengah danau. Daun-daunnya lebar berkelompok di sekitar bunga. Bunga Padang ditemukan pasca panen padi, di lahan persawahan.
Lahan persawahan di seberang jalan utama lintas kabupaten, depan rumah kami, menjadi danau hingga musim tanam berikutnya. Air sawah coklat, kangkung liar dan bunga padang tumbuh subur. Ungu dan putih bunga padang, berbaur diantara bunga kangkung air, putih kecil.
Dari balik kaca patri rumah kami. Mentari menimpa wajah air. berkilau keperakan. Beberapa Jukung atau Perahu kecil bergoyang lembut ditiup angin padang. Sore hari bangau putih hinggap di daun teratai, mencari makan juga mencandai ikan.
Aku kecil, diam-diam pernah bermain nyawa dengan perahu, demi sekuntum bunga padang.
Waktu itu...Umurku 7 tahun. Hari pertama masuk Sekolah Dasar. Hari ke-7 keluarga kami menempati rumah kontrakkan baru. Ibu sedang mengajar di Madrasah Aliyah Putri hingga siang. Dua adikku di rumah pengasuh mereka. Apa yang dilakukan anak perempuan 7 tahun di rumah besar sendirian? Mari kita lihat;
Bosan bermain masak-masakan, aku mengobrak-abrik koleksi buku. Buku cerita bergambar berserakan di lantai. Satu buku menarik perhatianku. Buku itu terletak di rak paling atas lemari buku di ruang kerja Ibuku. Ingin kuambil. Tekadku kuat jika punya mau. Pantang menyerah, kecuali dimarahi atau dipaksa berhenti oleh tangan berhak lagi berkuasa.
Skenario satu;
Aku naik, menginjak ujung rak ketiga, tangan mengapai-gapai. Sepertinya berbahaya jika kuteruskan. Iya kalau berhasil menjangkau, jika tidak, kemungkinannya dua. Dijatuhi buku atau rak buku roboh menimpa badan kurusku. Tidak ada penolong jika aku celaka ditimpa rak buku.
Oke lupakan, opsi satu!
Skenario dua;
Tempat dan judul buku, ku ingat baik-baik. Tunggu datang bantuan dulu. Minta tolong pembantu atau Ibuku. Tetapi tidak Ayah. Aku malas berurusan dengan Ayah, apalagi minta penuhi maksudku. Ayah terlalu sibuk berdagang. Berangkat pagi pulang petang. Malam kelelahan. Lebih baik mencari penolong memihak saja. Aha...Ada bibik Hani pengasuh kami. Pasti mau. Perawan belum berkawan di usia 43-an yang mengasuh aku dan kedua adikku. Setiap sore hari kembali ke rumah kami. Ibu sering minta tolong Bik Hani menginap rumah, jika Ayah keluar kota.
Opsi kedua, lebih masuk akal. Oke...aku sepakat berdamai hati. Tahan sebentar, paling lambat sore atau malam hari, keinginanku terkabul. Kupilih opsi kedua. Tetapi harus sabar, karena menyangkut relasi luar diri. Tidak apa-apa, sabar sejenak. Aku kan ingin disayang Tuhan. Begitulah kata yang sering ku dengar.
Baik... siang indah cerah. Angin padang melambaikan tangan memanggil. Aku akan mengusir jenuh. Hanya perlu jalan kaki 300 meter kearah rumah Bibik Hani. Rumah Bibik Hani diatas danau, dengan jembatan kayu sepanjang 100 meter. Aku ingin bermain di kolong rumah pengasuh adikku itu.
Ada perahu kecil bergoyang ditiup angin. Gemas sekali aku melihatnya. Ku perhatikan sambil tengkurap di lantai kayu berpapan jarang. "Sepertinya asyik nih..." Aku turun, memperhatikan sekeliling, siapa tahu ada orang. Tidak ada. Bagus kata akalku mulus.
Tanganku kemudian menyingsing rok, melangkah hati-hati di tangga kayu samping rumah. Girangnya hatiku mendekati perahu. Satu demi satu tangga kulangkahi mencapai muka air. Bercelana pendek motif bunga, sekarang aku tanpa rok pendek. Lihatlah anak kecil dengan satu keinginan ; Mengambil Bunga Padang. Hasrat sempurna, siang tanpa Mama .....
Aku berjalan ke ujung perahu, mengapai-gapai bunga padang dengan sebilah batang bambu. Ku kais, ku pukul dan ku hempaskan batang bambu, berharap bunga atau bungkul teratai terpisah dari batang, setelahnya bisa kukait menggunakan ujung bambu yang diikat pisau kecil.
Udara siang sangat bersahabat, aku terlalu asyik menginginkan bunga padang, tidak sadar tali penambat perahu longgar kemudian terlepas. Angin yang bertiup sedang membawa perahu kian ketengah. Aku senang semakin dekat dengan bunga padang, tanpa menyadari perahu hanyut terbawa angin. Bunga padang kuraih dengan mudah, kupetik satu kuntum juga merenggut dua tangkai buah teratai, menarik dua helai daun. Masalah terjadi ketika aku ingin kembali. Baru kusadari berada ditengah danau. Sendirian. Di atas perahu di bawah langit abu-abu.
Perahu telah jauh dari tiang rumah tempat asal sandar. Aku bersikap tenang. Duduk berjongkok, mataku memperhatikan air yang menggenangi setengah badan perahu, kukeringkan tangan dengan meletakkan keduanya dikepala. Memikirkan cara yang akan mengembalikan perahuku meraih tiang tangga kayu. Ku dayung perahu dengan sebilah bambu seperti yang pernah kusaksikan di TV. Malangnya bambu kecil itu patah. Tiupan angin membuatku panik, karena tidak ada lagi alat untuk mendayung. Aku berdiri, bergerak-gerak. Terlalu banyak bergerak, perahu oleng, tetapi masih aman.
Didorong rasa penasaran, kuulurkan tangan kebelakang mengapai-gapai batang bambu, aku terlalu dekat dengan permukaan air untuk meraih penggalah bambu, sebelum... Akhirnya terjatuh. Aku memang tidak menangis, tetapi lupa kejadian setelahnya.
Entahlah....selanjutnya, bisa saja terjadi perdebatan antara dua malaikat. Mikail dan Izrail. Jika saja waktu itu malaikat Izrail menang. Aku....Mustahil bisa menulis cerita ini. Karena telah bahagia di sorga ditemani indahnya bunga padang.
#Sedangadaide